Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, siang ini menghadiri rapat kerja nasional (Rakernas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Energi dan Migas di Hotel Fairmont, Jalan Asia Afrika, Jakarta.
Dalam sambutan saat membuka rakernas, Arcandra menuturkan sektor migas nasional berada di titik nadir dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya bukan hanya faktor eksternal seperti jatuhnya harga minyak dunia, tapi juga masalah-masalah di dalam negeri.
Apa sajakah masalah itu? Pertama, belum ada regulasi definitif yang mengatur tata kelola hulu migas setelah BP Migas dibubarkan karena Undang Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 lalu.
"Sektor hulu migas pasca putusan MK sampai sekarang belum ada pengaturan definitif terkait tata kelola migas di sektor hulu yang bisa menjawab hal yang diputuskan MK," kata Arcandra di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (1/11/2016).
Kedua, investor masih ragu untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia karena kurangnya kepastian hukum soal kontrak, perpajakan, perizinan, dan sebagainya.
"Kepastian berusaha di sektor hulu juga jadi sorotan dimana berpengaruh terhadap minat investor melakukan investasi di Indonesia, di antaranya kepastian hukum, kontrak, fiskal, pengurusan perizinan, pembebasan lahan. Dari data, dapat dilihat aktivitas inti hulu migas mengalami penurunan signifikan," ucapnya.
Ketiga, masalah jatah Hak Partisipasi (Participating Interest/PI) untuk daerah penghasil migas. "Tujuan PI agar hak eksklusif yang menjadi hak daerah tidak dimanfaatkan untuk tujuan lain," tukasnya.
Berbagai masalah ini perlu dijawab oleh UU Migas hasil revisi. Arcandra mengatakan, pertama-tama yang perlu dibahas dalam revisi UU Migas adalah bentuk badan pengganti SKK Migas. MK telah menggariskan bentuknya harus perusahaan.
"Perbaikan tata kelola di hulu, MK telah memberikan pedoman bentuknya yang sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Dapat disimpulkan, bentuk kelembagaannya adalah wakil negara yang akan berkontrak dengan pihak lain yang notabene adalah berbentuk perusahaan baik nasional atau asing, tentunya harus berbentuk perusahaan juga," dia menerangkan.
Arcandra menambahkan, UU Migas yang baru harus menyeimbangkan aspek kontribusi dalam pembangunan nasional, menciptakan perusahaan migas nasional yang berdaya saing, dan mendorong pencarian cadangan-cadangan migas baru.
"Intinya, dalam penyusunan tata kelola migas adalah mencari titik kepentingan maksimal yang menjadi concern kita bersama, yaitu bagaimana kontribusi migas dalam pembangunan nasional, menciptakan perusahaan migas nasional yang memiliki daya saing, harapan untuk generasi mendatang mengenai cadangan migas nasional," tukas dia.
Juga menyangkut kedaulatan energi, harus diperkuat. "Kedaulatan energi itu hak bangsa dalam hal energi security, sudah saatnya sumber daya alam kita dikelola lebih fokus kepada kemanfaatan. Semangat tadi sekiranya menjadi masukan kita bagaimana UU Migas kita punya visi jauh ke depan, baik dari segi pengelolaan sumber daya alam, konsep kedaulatan energi, dan bagaimana kita melihat investasi asing yang masuk ke Indonesia," kata Arcandra.
UU Migas yang baru harus memberikan kepastian hukum, jangan sampai kembali digugat ke MK seperti UU Nomor 22 Tahun 2001. "Dari pengalaman UU 22/2001, tentunya kita tidak ingin hasil revisinya mengalami nasib yang sama yaitu, yaitu di-judicial review sampai 3 kali," tutupnya. (hns/hns)
Dalam sambutan saat membuka rakernas, Arcandra menuturkan sektor migas nasional berada di titik nadir dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya bukan hanya faktor eksternal seperti jatuhnya harga minyak dunia, tapi juga masalah-masalah di dalam negeri.
Apa sajakah masalah itu? Pertama, belum ada regulasi definitif yang mengatur tata kelola hulu migas setelah BP Migas dibubarkan karena Undang Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 lalu.
"Sektor hulu migas pasca putusan MK sampai sekarang belum ada pengaturan definitif terkait tata kelola migas di sektor hulu yang bisa menjawab hal yang diputuskan MK," kata Arcandra di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (1/11/2016).
Kedua, investor masih ragu untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia karena kurangnya kepastian hukum soal kontrak, perpajakan, perizinan, dan sebagainya.
"Kepastian berusaha di sektor hulu juga jadi sorotan dimana berpengaruh terhadap minat investor melakukan investasi di Indonesia, di antaranya kepastian hukum, kontrak, fiskal, pengurusan perizinan, pembebasan lahan. Dari data, dapat dilihat aktivitas inti hulu migas mengalami penurunan signifikan," ucapnya.
Ketiga, masalah jatah Hak Partisipasi (Participating Interest/PI) untuk daerah penghasil migas. "Tujuan PI agar hak eksklusif yang menjadi hak daerah tidak dimanfaatkan untuk tujuan lain," tukasnya.
Berbagai masalah ini perlu dijawab oleh UU Migas hasil revisi. Arcandra mengatakan, pertama-tama yang perlu dibahas dalam revisi UU Migas adalah bentuk badan pengganti SKK Migas. MK telah menggariskan bentuknya harus perusahaan.
"Perbaikan tata kelola di hulu, MK telah memberikan pedoman bentuknya yang sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Dapat disimpulkan, bentuk kelembagaannya adalah wakil negara yang akan berkontrak dengan pihak lain yang notabene adalah berbentuk perusahaan baik nasional atau asing, tentunya harus berbentuk perusahaan juga," dia menerangkan.
Arcandra menambahkan, UU Migas yang baru harus menyeimbangkan aspek kontribusi dalam pembangunan nasional, menciptakan perusahaan migas nasional yang berdaya saing, dan mendorong pencarian cadangan-cadangan migas baru.
"Intinya, dalam penyusunan tata kelola migas adalah mencari titik kepentingan maksimal yang menjadi concern kita bersama, yaitu bagaimana kontribusi migas dalam pembangunan nasional, menciptakan perusahaan migas nasional yang memiliki daya saing, harapan untuk generasi mendatang mengenai cadangan migas nasional," tukas dia.
Juga menyangkut kedaulatan energi, harus diperkuat. "Kedaulatan energi itu hak bangsa dalam hal energi security, sudah saatnya sumber daya alam kita dikelola lebih fokus kepada kemanfaatan. Semangat tadi sekiranya menjadi masukan kita bagaimana UU Migas kita punya visi jauh ke depan, baik dari segi pengelolaan sumber daya alam, konsep kedaulatan energi, dan bagaimana kita melihat investasi asing yang masuk ke Indonesia," kata Arcandra.
UU Migas yang baru harus memberikan kepastian hukum, jangan sampai kembali digugat ke MK seperti UU Nomor 22 Tahun 2001. "Dari pengalaman UU 22/2001, tentunya kita tidak ingin hasil revisinya mengalami nasib yang sama yaitu, yaitu di-judicial review sampai 3 kali," tutupnya. (hns/hns)
Comments