FITRA menduga ada praktik bagi-bagi jatah di anggaran Rp 568,8 miliar untuk pembangunan mega proyek DPR di tahun 2016. Hal tersebut dibantah oleh Plt Ketua DPR Fadli Zon.
"Tidak ada tuh bagi-bagi jatah anggota. Saya kira kalo ada tuduhan harus dibuktikan," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (8/1/2016).
Fadli menuturkan bahwa bila nanti penataan komplek legislatif sudah disahkan secara resmi, dia meminta ada pengawasan dari berbagai lembaga. Termasuk salah satunya adalah KPK.
"Saya mengusulkan agar dilibatkan lembaga-lembaga terkait untuk melakukan pengawasan seperti LKPP dan juga KPK sehingga proses dan prosedurnya transparan," ungkap Waketum Gerindra ini.
Jika nantinya masuk ke tahap pembangunan, Fadli ingin melibatkan perusahaan milik negara. Dengan demikian, mega proyek DPR ini akan jauh dari tudingan penyimpangan.
"Kalaupun mau dibangun, saya kira lebih bagus dibangun oleh BUMN. Saya kira sekarang ini ada 6-7 BUMN yang memang membangun konstruksi semacam itu," ujar Fadli.
Sebelumnya diberitakan, proyek pembangunan gedung DPR berlanjut di 2016 dengan nilai anggaran mencapai Rp 568,8 miliar. Anggaran itu dibagi ke dalam beberapa poin anggaran, sebagai berikut:
1. Rp 480 M untuk pembangunan Gedung DPR metode lelang umum.
2. Rp 10 M untuk konstruksi dan poliklinik, metode lelang umum.
3. Rp 68 M untuk pelaksanaan konstruksi Alun-alun Demokrasi, metode lelang umum.
4. Rp 9,1 M untuk konstruksi Alun-alun Demokrasi, metode seleksi umum.
5. Rp 1,7 M untuk Manajemen konstruksi Alun-alun demokrasi, metode seleksi umum.
Manager Advokasi FITRA Apung Widadi menyebut ada kejanggalan. Dia mempertanyakan desain utuh Kompleks DPR yang belum ada, dan alasan anggaran pembangunan itu dipecah-pecah.
"Hal ini kemungkinan ada dua hal, menghindari kecurigaan publik dan kedua disinyalir untuk bagi-bagi jatah proyek. Untuk itu dengan alasan rencana pembangunan tidak transparan, gedung dan alun-alun belum dibutuhkan, pemborosan uang negara, maka FITRA tetap Menolak rencana pembangunan komplek Gedung DPR. Batalkan!" ujar Apung kepada wartawan, Rabu (6/1/2016).
"Tidak ada tuh bagi-bagi jatah anggota. Saya kira kalo ada tuduhan harus dibuktikan," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (8/1/2016).
Fadli menuturkan bahwa bila nanti penataan komplek legislatif sudah disahkan secara resmi, dia meminta ada pengawasan dari berbagai lembaga. Termasuk salah satunya adalah KPK.
"Saya mengusulkan agar dilibatkan lembaga-lembaga terkait untuk melakukan pengawasan seperti LKPP dan juga KPK sehingga proses dan prosedurnya transparan," ungkap Waketum Gerindra ini.
Jika nantinya masuk ke tahap pembangunan, Fadli ingin melibatkan perusahaan milik negara. Dengan demikian, mega proyek DPR ini akan jauh dari tudingan penyimpangan.
"Kalaupun mau dibangun, saya kira lebih bagus dibangun oleh BUMN. Saya kira sekarang ini ada 6-7 BUMN yang memang membangun konstruksi semacam itu," ujar Fadli.
Sebelumnya diberitakan, proyek pembangunan gedung DPR berlanjut di 2016 dengan nilai anggaran mencapai Rp 568,8 miliar. Anggaran itu dibagi ke dalam beberapa poin anggaran, sebagai berikut:
1. Rp 480 M untuk pembangunan Gedung DPR metode lelang umum.
2. Rp 10 M untuk konstruksi dan poliklinik, metode lelang umum.
3. Rp 68 M untuk pelaksanaan konstruksi Alun-alun Demokrasi, metode lelang umum.
4. Rp 9,1 M untuk konstruksi Alun-alun Demokrasi, metode seleksi umum.
5. Rp 1,7 M untuk Manajemen konstruksi Alun-alun demokrasi, metode seleksi umum.
Manager Advokasi FITRA Apung Widadi menyebut ada kejanggalan. Dia mempertanyakan desain utuh Kompleks DPR yang belum ada, dan alasan anggaran pembangunan itu dipecah-pecah.
"Hal ini kemungkinan ada dua hal, menghindari kecurigaan publik dan kedua disinyalir untuk bagi-bagi jatah proyek. Untuk itu dengan alasan rencana pembangunan tidak transparan, gedung dan alun-alun belum dibutuhkan, pemborosan uang negara, maka FITRA tetap Menolak rencana pembangunan komplek Gedung DPR. Batalkan!" ujar Apung kepada wartawan, Rabu (6/1/2016).
Comments