Pemerintah Provinsi DKI mulai tahun depan akan membangun infrastrukturnya dengan sistem rancang bangun dan bukan lagi menggunakan Detail Enginering Desain (DED). Dengan sistem rancang bangun, Pemprov DKI yakin bisa menghemat anggaran sangat besar.
"Eksekutif selalu berlindung di konsultan. Mereka selalu naikin harga satuan, desain yang masif digedein, padahal jika dibandingkan dengan (perusahaan) swasta, nggak butuh itu," kata Gubernur DKI Basuki T Purnama atau Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakpus, Senin (29/6/2015).
Ia mengatakan selama ini dengan sistem DED, pengeluaran APBD untuk pembangunan selalu besar. Padahal, sebagian dana itu habis untuk fase lelang DED. Setelah lelang DED, maka selanjutnya Pemprov DKI kembali akan melelang pembangunannya.
Namun, dengan sistem rancang bangun, maka tak ada lagi fase lelang DED yang menghabiskan waktu dan berpeluang mengeluarkan biaya besar. Lelang hanya dilakukan sekali dengan menentukan perusahaan yang merancang sekaligus membangunnya.
Ahok memberi contoh pembangunan gelanggang olahraga (GOR) yang menghabiskan anggaran Rp 48 miliar dengan DED. Tapi, jika menggunakan sistem rancang bangun, fungsi dan komponen yang sama anggarannya bisa berkurang.
"Kalau saya desain lebih sederhana lagi, fungsinya sama, dari Rp 48 miliar bisa jadi Rp 35 miliar dan bukan tidak mungkin hanya Rp 25 miliar, jadi kenapa desainnya begitu masif?" tutur mantan Bupati Belitung Timur itu.
"Nah kita lebih stop tahun depan. Daripada ngabisin duit nggak karuan," tegas Ahok.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov DKI Saefullah mengatakan jika sistem rancang bangun ini bisa menghemat anggaran hingga 30 persen dari yang menggunakan DED. Selain itu, waktu lelang proyeknya pun lebih singkat.
"Bisa 30 persen sampai 25 persen tingkat kemahalannya dari angka wajar. Tahun depan jadi rancang bangun metodenya yang sudah jelas lebih simple dan murah sedangkan fungsinya tetap sama," sebut Saefullah.
Ia mengakui bahwa dengan perubahan sistem ini bisa jadi menghambat laju pembangunan di Jakarta. Namun, menurutnya penurunan itu hal wajar untuk perbaikan sistem perencanaan pembangunan jangka panjang.
"Pasti akan menghambat (pembangunan). Teorinya harus ada grafik menurunnya tapi selanjutnya bisa kita jalan bagus," ujar Saefullah.
"Eksekutif selalu berlindung di konsultan. Mereka selalu naikin harga satuan, desain yang masif digedein, padahal jika dibandingkan dengan (perusahaan) swasta, nggak butuh itu," kata Gubernur DKI Basuki T Purnama atau Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakpus, Senin (29/6/2015).
Ia mengatakan selama ini dengan sistem DED, pengeluaran APBD untuk pembangunan selalu besar. Padahal, sebagian dana itu habis untuk fase lelang DED. Setelah lelang DED, maka selanjutnya Pemprov DKI kembali akan melelang pembangunannya.
Namun, dengan sistem rancang bangun, maka tak ada lagi fase lelang DED yang menghabiskan waktu dan berpeluang mengeluarkan biaya besar. Lelang hanya dilakukan sekali dengan menentukan perusahaan yang merancang sekaligus membangunnya.
Ahok memberi contoh pembangunan gelanggang olahraga (GOR) yang menghabiskan anggaran Rp 48 miliar dengan DED. Tapi, jika menggunakan sistem rancang bangun, fungsi dan komponen yang sama anggarannya bisa berkurang.
"Kalau saya desain lebih sederhana lagi, fungsinya sama, dari Rp 48 miliar bisa jadi Rp 35 miliar dan bukan tidak mungkin hanya Rp 25 miliar, jadi kenapa desainnya begitu masif?" tutur mantan Bupati Belitung Timur itu.
"Nah kita lebih stop tahun depan. Daripada ngabisin duit nggak karuan," tegas Ahok.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov DKI Saefullah mengatakan jika sistem rancang bangun ini bisa menghemat anggaran hingga 30 persen dari yang menggunakan DED. Selain itu, waktu lelang proyeknya pun lebih singkat.
"Bisa 30 persen sampai 25 persen tingkat kemahalannya dari angka wajar. Tahun depan jadi rancang bangun metodenya yang sudah jelas lebih simple dan murah sedangkan fungsinya tetap sama," sebut Saefullah.
Ia mengakui bahwa dengan perubahan sistem ini bisa jadi menghambat laju pembangunan di Jakarta. Namun, menurutnya penurunan itu hal wajar untuk perbaikan sistem perencanaan pembangunan jangka panjang.
"Pasti akan menghambat (pembangunan). Teorinya harus ada grafik menurunnya tapi selanjutnya bisa kita jalan bagus," ujar Saefullah.
Comments