Harapan demi harapan disampaikan Jenderal Tito Karnavian saat ia resmi menjabat Kepala Kepolisian RI menggantikan Jenderal Badrodin Haiti.
Tito menjanjikan berbagai perbaikan internal Polri. Ia ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Namun, harapan itu seakan terempas saat dua peristiwa bentrok polisi dan warga terjadi di dua lokasi dalam rentang waktu yang berdekatan.
Bentrok di Meranti dan Sugapa, Papua
Peristiwa di Meranti dan Papua terjadi karena aksi balas dendam antara polisi dengan warga.
Dalam kasus di Sugapa, oknum aparat Brimob menembak mati seorang pelajar, Etinius Sondegau (15).
Warga yang tersulut amarahnya langsung melampiaskannya dengan membakar Kantor Polres Sugapa sambil membawa jenazah Etinius.
Sementara di Meranti, terjadi kerusuhan di depan barak polisi yang dipicu kemarahan warga atas meninggalnya Apriadi Pratama (24), pegawai honorer Dispenda.
Ia merupakan tersangka kasus pembunuhan anggota Polres Meranti, Brigadir Adil S Tambunan (32).
Warga menduga Adil disiksa oleh polisi sampai meninggal dunia.
Bentrokan yang terjadi menewaskan seorang warga, Isrusli (45) karena diduga terkena lemparan batu.
Puluhan sepeda motor rusak dan barak polisi terbakar.
Ubah pendekatan
Staf Khusus Presiden Bidang Papua, Lenis Kagoya, menekankan, polisi di Papua harus mengubah pendekatannya terhadap masyarakat.
Ia menganggap perlu ada evaluasi kinerja karena yang selama ini ditunjukkan adalah sikap yang tidak patut sebagai aparat kepolisian.
Apalagi, oknum polisi sampai mencabut pistol untuk menghadapi seorang pelajar.
Harapan mereformasi Polri
Reformasi kultural menjadi misi utama Kepala Polri Tito Karnavian yang disampaikannya saat akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI.
Penjabaran dari misi tersebut memukau para anggota Dewan sehingga ia dinyatakan lolos seleksi sebagai calon tunggal Kapolri.
Tito ingin mengembalikan marwah kepolisian menjadi institusi yang dipercaya oleh masyarakat.
"Reformasi internal akan fokus ke reformasi kultural. Utamanya budaya koruptif, lalu hedonis, konsumtif, serta perilaku ke masyarakat bagaimana memberikan rasa aman," ujar Tito, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Kamis (23/6/2016).
Tito menyadari, rendahnya kepercayaan masyarakat selama ini terhadap Polri karena tidak mendapatkan pelayanan maksimal.
Ia berjanji akan membenahinya saat terpilih sebagai Kapolri.
Saat itu, Tito berharap apa yang ia lakukan semasa menjabat sebagai Kapolda Papua dan Kapolda Metro Jaya bisa ditiru bawahannya, yakni dengan terjun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluhan masyarakat.
"Saya akan meminta para pimpinan kewilayahan untuk banyak turun ke bawah, kemudian bersentuhan dengan masyarakat, memperbanyak dialog-dialog dengan masyarakat," kata Tito.
Menurut Tito, yang terpenting adalah komunikasi masyarakat dengan polisi tidak terhambat.
Polisi juga dituntut memahami apa yang menjadi keinginan masyarakat. Terlebih lagi, saat ini banyak ruang dialog selain tatap muka, yakni melalui media sosial.
"Tamparan" bagi Sang Jenderal
Tito mengingatkan jajarannya untuk terus memperbaiki budaya, citra, dan kinerja kepolisian.
Perbaikan citra ini, menurut dia, perlu dilakukan agar kepolisian memperoleh kepercayaan masyarakat.
Kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun karena sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan kepolisian.
Bagi Tito, peristiwa Meranti adalah pelajaran pahit.
"Kasus Meranti adalah pelajaran pahit. Saya imbau kepada jajaran harus evaluasi. Ambil pelajaran dan tidak boleh terjadi di tempat lain," kata Tito.
Tito menekankan, kejadian yang sama jangan sampai terulang karena mencoreng ratusan ribu polisi dan menutup prestasi polisi Indonesia.
Untuk memperbaiki internal Polri, ia telah menerbitkan "Commander Wish" yang berisi 10 program prioritas ditambah dengan program "Quick Wins".
Program yang telah dirumuskan itu meliputi perbaikan pelayanan publik, profesionalisme penegakan hukum, stabilitas keamanan dan ketertiban nasional, serta reformasi internal.
Sebatas teori
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai, Tito Karnavian belum menunjukkan taringnya sehingga bawahannya tidak segan melakukan tindakan menyimpang dari tugas kepolisian.
Janji Tito untuk melakukan reformasi Polri dianggap masih sebatas teori.
"Tekadnya tidak dibarengi kebijakan dan tindakan yang memberikan pengaruh ke bawahan untuk segan dan takut perbuatan menyimpang," ujar Bambang.
Menurut Bambang, perilaku menyimpang dan kekerasan memang mengakar dan kerap terjadi oleh oknum kepolisian di daerah.
Seharusnya, dalam kasus Meranti dan Sugapa, Tito tak hanya memerintahkan jajarannya untuk mengusut.
Menurut Bambang, perlu ada ancaman pencopotan dari jabatannya sehingga ada efek jera.
Tak hanya itu, bentrok polisi versus warga tersebut justru akan makin menipiskan kepercayaan masyarakat terhadap Korps Bhayangkara.
Padahal, Tito berharap di masa kepemimpinannya, kepercayaan itu akan pulih.
"Upaya sistemaris untuk membangun kepercayaan publik ke Polrisaya lihat baru pernyataan simbolik. Kalau tidak dilakukan tindakan nyata yang keras, tidak akan ada getaran yang dibawa pemimpin," kata Bambang.
Comments