Anak-anak bermain di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) Meruya Utara, Jakarta Barat, Selasa (28/6). Pembangunan RPTRA merupakan salah satu program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan ruang terbuka bagi warga sebagai sarana rekreasi, edukasi, dan sosialisasi warga. Pada 2017 ditargetkan akan terbangun sekitar 200 RPTRA.
PEMBANGUNAN ruang publik terpadu ramah anak di banyak lokasi di Jakarta menjadi upaya andalan melembutkan sisi cadas kota besar. Kota yang dicap serba keras dan bising dengan segala masalah ini mencoba berbenah menjadi lebih ramah anak, sebuah tempat yang erat hubungan sosial masyarakatnya.
Jumat (22/4), Duta Besar Denmark untuk Indonesia Casper Klinge menyerahkan bantuan berkardus-kardus mainan lego untuk anak-anak Jakarta. Mainan bongkar pasang asal Denmark itu diterima Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan disebar di 34 ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA).
Mainan lego menjadi fasilitas tambahan di RPTRA. Berbagai fasilitas, seperti tempat bermain, lapangan futsal, dan pepohonan, diberikan agar tidak hanya anak, tetapi warga di sekitar lokasi RPTRA bisa berkegiatan positif dan saling berinteraksi satu sama lain.
Namun, memberi ruang dan peluang bagi anak-anak Jakarta tumbuh lebih baik merupakan tantangan tersendiri. Di tengah kepadatan kota dan kesemrawutannya, sulit ditemukan ruang nyaman bagi anak bermain dan berekspresi.
Meski sudah ditata dalam rencana detail tata ruang (RDTR) yang merupakan penjabaran dari rencana tata ruang wilayah (RTRW), seringnya kecukupan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) belum bisa dicapai. RTH ini mencakup taman kota, jalur hijau di ruas jalan, dan RPTRA.
Menurut laman resmi Pemprov DKI Jakarta, taman di Jakarta ada 1.178 buah. Namun, tak semuanya baik serta ramah anak. Itu sebabnya RPTRA, seperti dikatakan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi DKI Jakarta Dien Emawati, digalakkan. Saat ini, sudah ada 68 RPTRA dan tersebar di pelosok Jakarta.
"RPTRA ini menjadi pengganti balai desa yang dulu ada di setiap kelurahan. Bisa menjadi tempat kumpul-kumpul, saling bercerita tentang kesulitan atau kesusahan atau kegembiraan, juga menjadi tempat saling berkreasi. Mau hajatan di sini pun bisa," tutur Basuki.
Jakarta dalam pertumbuhannya, ujar Basuki, bakal menjadi kota modern dengan segala permasalahannya.
Jumat (22/4), Duta Besar Denmark untuk Indonesia Casper Klinge menyerahkan bantuan berkardus-kardus mainan lego untuk anak-anak Jakarta. Mainan bongkar pasang asal Denmark itu diterima Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan disebar di 34 ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA).
Mainan lego menjadi fasilitas tambahan di RPTRA. Berbagai fasilitas, seperti tempat bermain, lapangan futsal, dan pepohonan, diberikan agar tidak hanya anak, tetapi warga di sekitar lokasi RPTRA bisa berkegiatan positif dan saling berinteraksi satu sama lain.
Namun, memberi ruang dan peluang bagi anak-anak Jakarta tumbuh lebih baik merupakan tantangan tersendiri. Di tengah kepadatan kota dan kesemrawutannya, sulit ditemukan ruang nyaman bagi anak bermain dan berekspresi.
Meski sudah ditata dalam rencana detail tata ruang (RDTR) yang merupakan penjabaran dari rencana tata ruang wilayah (RTRW), seringnya kecukupan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) belum bisa dicapai. RTH ini mencakup taman kota, jalur hijau di ruas jalan, dan RPTRA.
Menurut laman resmi Pemprov DKI Jakarta, taman di Jakarta ada 1.178 buah. Namun, tak semuanya baik serta ramah anak. Itu sebabnya RPTRA, seperti dikatakan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi DKI Jakarta Dien Emawati, digalakkan. Saat ini, sudah ada 68 RPTRA dan tersebar di pelosok Jakarta.
"RPTRA ini menjadi pengganti balai desa yang dulu ada di setiap kelurahan. Bisa menjadi tempat kumpul-kumpul, saling bercerita tentang kesulitan atau kesusahan atau kegembiraan, juga menjadi tempat saling berkreasi. Mau hajatan di sini pun bisa," tutur Basuki.
Jakarta dalam pertumbuhannya, ujar Basuki, bakal menjadi kota modern dengan segala permasalahannya.
"Namun, Jakarta harus tumbuh tanpa meninggalkan sisi kemanusiawiannya. Dari RPTRA, sisi manusiawi itu kita jaga," ucapnya.
Sosialisasi belum maksimal
Psikolog anak, Vera Itabiliana, menyatakan, supaya bisa berfungsi maksimal, sebelum melakukan pembangunan dan selama membuat RPTRA, Vera menyarankan Pemprov DKI untuk juga mulai menyosialisasikan kepada warga sekitar.
Sosialisasi yang tepat sasaran bisa menjadi bibit awal perekat sosial. Ke depannya, masyarakat di sekitar lokasi RPTRA tidak hanya sekadar datang, bermain, mengobrol, lalu pulang. Dengan pelibatan warga dari awal, masyarakat bisa mempunyai rasa memiliki. Dengan demikian, kebersihan, kenyamanan, kerapian, serta keamanan RPTRA bisa dijaga bersama, bukan hanya mengandalkan petugas kebersihan harian.
"Masyarakat kita itu kurang peduli dengan apa yang menjadi milik umum. Ada taman baru, sebentar saja sudah penuh coretan," ujarnya.
Kekhawatiran Vera cukup beralasan. Di RPTRA Kembangan, Jakarta Barat, Februari lalu, tembok pembatasnya dijebol karena dianggap menghalangi akses masyarakat setempat.
Sampai saat ini, sebagian warga sepertinya belum merasakan manfaat RPTRA di dekatnya. Perlu banyak upaya untuk menyinkronkan kebutuhan warga dan program RPTRA agar tidak jadi upaya sia-sia.
Saat ini, perawatan sebagian besar dari 68 RPTRA pun masih bergantung kepada tenaga harian lepas (PHL) di DKI. Ada enam PHL di masing-masing RPTRA dan digaji sesuai upah minimum regional (UMR). Mereka bertugas dalam dua giliran kerja dari pukul 05.00-22.00.
Pekerjaan mereka dipantau lurah sebagai ketua RPTRA kelurahan. Apabila RPTRA disalahgunakan, seperti untuk tempat cuci sepeda motor, lurah bersangkutan akan dicopot dari jabatan.
Pro aktif
Ke depan, RPTRA didorong agar bisa dikelola masyarakat secara swadaya. Kini, salah satu yang sudah mandiri adalah RPTRA di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Masyarakat di permukiman elite itu membangun RPTRA dengan biaya sendiri, pengelolaannya pun secara swadaya.
Mengatasi masalah sosialisasi, sebagian warga mengatasinya dengan langsung mencoba fasilitas RPTRA di dekatnya. Hasilnya, mereka ketagihan dan jadi pengunjung tetap RPTRA.
"Enak, setelah ada taman, setiap sore saya ajak cucu ke mari. Ada ayunan dan anak bisa lari-lari di taman," ujar Solih (66), warga Krendang, Jakarta Barat, yang di lingkungannya kini hadir RPTRA Tambora.
Sosialisasi belum maksimal
Psikolog anak, Vera Itabiliana, menyatakan, supaya bisa berfungsi maksimal, sebelum melakukan pembangunan dan selama membuat RPTRA, Vera menyarankan Pemprov DKI untuk juga mulai menyosialisasikan kepada warga sekitar.
Sosialisasi yang tepat sasaran bisa menjadi bibit awal perekat sosial. Ke depannya, masyarakat di sekitar lokasi RPTRA tidak hanya sekadar datang, bermain, mengobrol, lalu pulang. Dengan pelibatan warga dari awal, masyarakat bisa mempunyai rasa memiliki. Dengan demikian, kebersihan, kenyamanan, kerapian, serta keamanan RPTRA bisa dijaga bersama, bukan hanya mengandalkan petugas kebersihan harian.
"Masyarakat kita itu kurang peduli dengan apa yang menjadi milik umum. Ada taman baru, sebentar saja sudah penuh coretan," ujarnya.
Kekhawatiran Vera cukup beralasan. Di RPTRA Kembangan, Jakarta Barat, Februari lalu, tembok pembatasnya dijebol karena dianggap menghalangi akses masyarakat setempat.
Sampai saat ini, sebagian warga sepertinya belum merasakan manfaat RPTRA di dekatnya. Perlu banyak upaya untuk menyinkronkan kebutuhan warga dan program RPTRA agar tidak jadi upaya sia-sia.
Saat ini, perawatan sebagian besar dari 68 RPTRA pun masih bergantung kepada tenaga harian lepas (PHL) di DKI. Ada enam PHL di masing-masing RPTRA dan digaji sesuai upah minimum regional (UMR). Mereka bertugas dalam dua giliran kerja dari pukul 05.00-22.00.
Pekerjaan mereka dipantau lurah sebagai ketua RPTRA kelurahan. Apabila RPTRA disalahgunakan, seperti untuk tempat cuci sepeda motor, lurah bersangkutan akan dicopot dari jabatan.
Pro aktif
Ke depan, RPTRA didorong agar bisa dikelola masyarakat secara swadaya. Kini, salah satu yang sudah mandiri adalah RPTRA di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Masyarakat di permukiman elite itu membangun RPTRA dengan biaya sendiri, pengelolaannya pun secara swadaya.
Mengatasi masalah sosialisasi, sebagian warga mengatasinya dengan langsung mencoba fasilitas RPTRA di dekatnya. Hasilnya, mereka ketagihan dan jadi pengunjung tetap RPTRA.
"Enak, setelah ada taman, setiap sore saya ajak cucu ke mari. Ada ayunan dan anak bisa lari-lari di taman," ujar Solih (66), warga Krendang, Jakarta Barat, yang di lingkungannya kini hadir RPTRA Tambora.
Comments