Komjen Tito Karnavian menjelaskan soal penanganan terorisme dan anggapan melanggar HAM. Saat menjalani fit and proper test sebagai calon Kapolri, Tito memang ditanya soal penangangan kasus terorisme yang sering dibenturkan dengan HAM.
"Kami melihat penegakan hukum yang akibatkan tersangka meninggal tidak hanya saat ini. Sudah sejak bom Bali," ujarnya Tito di ruang rapat Komisi III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (22/6/2016). Uji ini dipimpin oleh Ketua Komisi III Bambang Soesatyo.
Menurut Tito, meningkatnya jumlah tersangka teroris yang meninggal karena target para teroris sudah berbeda. Jika dulu hanya menargetkan masyarakat umum, kini polisi juga menjadi target.
Tito mengatakan ada dua strategi utama dalam menangani terorisme, yaitu hard approach dan soft approach.
"Tapi teroris khususnya dilatarbelakangi ideologis, kontra ideologis yang utama," ujarnya.
"Kenapa ada 121 orang tertembak sebelum masuk pengadilan, karena taktik di lapangan. Seperti di Starbuck Thamrin mereka pegang senjata, apa mungkin kita minta mereka enggak gunakan senjata dulu," ujarnya.
Karena itu, kata Tito, tugas polisi adalah menghentikan ancaman yang membahayakan masyarakat. Di lain sisi, kesulitan dalam menghadapi kelompok radikal.
"Mereka punya doktrin bunuh diri, mati adalah dicari, jihad adalah rukun Islam ke enam. Membunuh aparat dan orang kafir adalah pahala, mati masuk surga," tutupnya.
Tito mengatakan, kondisi ini sama halnya dengan kasus Siyono. Siyono melakukan perlawanan dengan memukul anggota polisi.
Namun begitu, Tito meminta masyarakat luas tidak hanya melihat teroris yang meninggal, tapi juga bagaimana masyarakat Indonesia terselamatkan.
"Yang hidup banyak. 1000 lebih. Polisi 26 lebih meninggal. Masyarakat lebih dari 1000. Mohon kiranya tidak mengeneralisir, 121 ini jadi indikator kita menerapkan war model tetapi law enforcement," ujarnya.
"Kami melihat penegakan hukum yang akibatkan tersangka meninggal tidak hanya saat ini. Sudah sejak bom Bali," ujarnya Tito di ruang rapat Komisi III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (22/6/2016). Uji ini dipimpin oleh Ketua Komisi III Bambang Soesatyo.
Menurut Tito, meningkatnya jumlah tersangka teroris yang meninggal karena target para teroris sudah berbeda. Jika dulu hanya menargetkan masyarakat umum, kini polisi juga menjadi target.
Tito mengatakan ada dua strategi utama dalam menangani terorisme, yaitu hard approach dan soft approach.
"Tapi teroris khususnya dilatarbelakangi ideologis, kontra ideologis yang utama," ujarnya.
"Kenapa ada 121 orang tertembak sebelum masuk pengadilan, karena taktik di lapangan. Seperti di Starbuck Thamrin mereka pegang senjata, apa mungkin kita minta mereka enggak gunakan senjata dulu," ujarnya.
Karena itu, kata Tito, tugas polisi adalah menghentikan ancaman yang membahayakan masyarakat. Di lain sisi, kesulitan dalam menghadapi kelompok radikal.
"Mereka punya doktrin bunuh diri, mati adalah dicari, jihad adalah rukun Islam ke enam. Membunuh aparat dan orang kafir adalah pahala, mati masuk surga," tutupnya.
Tito mengatakan, kondisi ini sama halnya dengan kasus Siyono. Siyono melakukan perlawanan dengan memukul anggota polisi.
Namun begitu, Tito meminta masyarakat luas tidak hanya melihat teroris yang meninggal, tapi juga bagaimana masyarakat Indonesia terselamatkan.
"Yang hidup banyak. 1000 lebih. Polisi 26 lebih meninggal. Masyarakat lebih dari 1000. Mohon kiranya tidak mengeneralisir, 121 ini jadi indikator kita menerapkan war model tetapi law enforcement," ujarnya.
Comments