Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menyebut dirinya bukanlah presiden yang menjalankan kebijakan hasil reformasi. Pernyataan itu dia sampaikan dalam Konvensi Haluan Negara.
"Saya ini bukan presiden reformasi, loh. Banyak yang bilang kalau saya presiden reformasi, saya jadi bingung. Kenapa? Karena sewaktu saya menjadi presiden, saya harus menjalankan Tap MPR. Kalau presiden reformasi kan sudah tidak ada Tap MPR," ujar Megawati di Merak Room JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/3/2016).
Dia kemudian menyebutkan beberapa Tap MPR yang harus dijalankan yang di antaranya adalah menurunkan kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi dan pemilihan presiden langsung. Selain itu, kata dia, masih banyak Tap MPR yang harus dia eksekusi karena dirinya adalah mandataris MPR.
"Apa yang kita lihat sejak Reformasi 1998, tampak begitu kuatnya agenda liberalisasi masuk dalam keseluruhan sendi-sendi kehidupan negara. Liberalisasi di bidang politik dan ekonomi berjalan simultan sebagai konsekuensi penandatanganan Letter of Intent IMF. Praktek demokrasi Indonesia pun berubah drastis," tutur Mega kemudian.
Salah satu bentuk liberalisasi yang dia maksud tertuang dalam amandemen UUD 1945. Sehingga dia dan para tokoh yang hadir dalam acara tersebut mendukung amandemen terbatas untuk mengembalikan UUD 1945 yang asli.
"Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 merupakan keputusan penting dan monumental untuk tetap berada dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Namun Bung Karno mengingatkan, bahwa konstitusi saja tidak cukup bagi rakyat," kata dia.
Ada pun tokoh nasional yang hadir yakni Ketua MPR Zulkifli Hasan, Wapres ke-6 RI Try Sutrisno, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketum Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Wantim Golkar Akbar Tandjung, akademisi Yudi Latief, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, serta Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Ravik Karsidi dan Ketua Forum Rektor Rachmat Wahab
"Saya ini bukan presiden reformasi, loh. Banyak yang bilang kalau saya presiden reformasi, saya jadi bingung. Kenapa? Karena sewaktu saya menjadi presiden, saya harus menjalankan Tap MPR. Kalau presiden reformasi kan sudah tidak ada Tap MPR," ujar Megawati di Merak Room JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/3/2016).
Dia kemudian menyebutkan beberapa Tap MPR yang harus dijalankan yang di antaranya adalah menurunkan kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi dan pemilihan presiden langsung. Selain itu, kata dia, masih banyak Tap MPR yang harus dia eksekusi karena dirinya adalah mandataris MPR.
"Apa yang kita lihat sejak Reformasi 1998, tampak begitu kuatnya agenda liberalisasi masuk dalam keseluruhan sendi-sendi kehidupan negara. Liberalisasi di bidang politik dan ekonomi berjalan simultan sebagai konsekuensi penandatanganan Letter of Intent IMF. Praktek demokrasi Indonesia pun berubah drastis," tutur Mega kemudian.
Salah satu bentuk liberalisasi yang dia maksud tertuang dalam amandemen UUD 1945. Sehingga dia dan para tokoh yang hadir dalam acara tersebut mendukung amandemen terbatas untuk mengembalikan UUD 1945 yang asli.
"Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 merupakan keputusan penting dan monumental untuk tetap berada dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Namun Bung Karno mengingatkan, bahwa konstitusi saja tidak cukup bagi rakyat," kata dia.
Ada pun tokoh nasional yang hadir yakni Ketua MPR Zulkifli Hasan, Wapres ke-6 RI Try Sutrisno, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketum Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Wantim Golkar Akbar Tandjung, akademisi Yudi Latief, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, serta Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Ravik Karsidi dan Ketua Forum Rektor Rachmat Wahab
Comments