Pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai reklamasi mentok di DPRD DKI. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuding ada 'permainan' di balik Raperda itu.
Salah satu yang dipersoalkan Ahok yaitu tentang tambahan kontribusi 15% pada perusahaan pengembang. Namun Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI M Taufik menyebut permasalahan ada di persoalanan perizinan.
"(Yang dipermasalahkan) izin pelaksanaan sama izin reklamasi. Karena perda itu perda tata ruang, bukan perda izin. Nah kita enggak mau masukin izin," ucap M Taufik sesaat sebelum menjalani pemeriksaan di KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2016).
Taufik mengatakan bahwa izin reklamasi telah dikeluarkan Ahok. Dia pun menegaskan tidak ingin memasukkan izin ke dalam raperda yang tengah dibahas itu.
"Izin itu kan udah keluar jadi kita enggak perlu masukin ke situ dong," sebut Taufik.
Penyidik KPK memang tengah mendalami proses pembahasan penyusunan Raperda Zonasi dan Tata Ruang reklamasi teluk Jakarta yang berujung pada kasus suap. Pada Selasa kemarin, penyidik KPK melakukan pemeriksaan kepada sejumlah pihak yaitu Kepala Bappeda Tuty Kusumawati, Kasubbid Penataan Ruang, Pertamanan dan Pemakaman Bappeda DKI Feirully Irzal dan Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekda Provinsi DKI Jakarta Gamal Sinurat juga diperiksa.
KPK tengah mendalami peran pihak lain dalam kasus ini. KPK menduga, M Sanusi sebagai anggota Balegda tidak bermain sendirian untuk memainkan pembahasan dua raperda itu. KPK menaruh curiga tentang pembahasan raperda yang tidak pernah kuorum. KPK menduga adanya 'permainan' di balik penundaan pembahasan 2 raperda itu.
Kecurigaan KPK memang beralasan. Dua raperda tentang reklamasi itu telah diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) ke DPRD DKI pada 23 April 2015 silam. Saat itu, namanya adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2015-2035. Setahun berselang, raperda tak juga disahkan.
Pembahasan soal raperda ini tidak pernah terdengar hingga pengujung tahun 2015. DPRD DKI lalu memasukkan raperda ini menjadi 1 dari 23 target legislasi dewan di 2016. Perkara tak bisa disahkannya raperda ini karena sidang di DPRD DKI yang tak pernah kuorum. Berkali-kali rapat membahas raperda terkait reklamasi hanya dihadiri tak lebih dari 50 anggota DPRD sehingga pembahasan urung dilanjutkan.
Paripurna pembahasan Raperda Zonasi ini dijadwalkan pada 22 Februari 2016. Agendanya adalah penyampaian laporan hasil pembahasan Balegda DKI terhadap Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dilanjutkan dengan Permintaan Persetujuan Lisan kepada Anggota DPRD oleh Pimpinan, dan Pendapat Akhir Gubernur terhadap Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dipungkasi dengan penyerahan simbolis raperda dari DPRD ke Gubernur.
Ahok yang sudah hadir di Gedung DPRD DKI dibuat 2 jam menunggu. Namun, ternyata anggota DPRD yang menandatangani absensi hanya 50 orang dari total 106 anggota. Karena tidak kuorum, akhirnya paripurna ditunda. Jadwal paripurna kembali tidak jelas karena pada Selasa (1/3), DPRD DKI hanya mengadakan rapat Badan Musyawarah (Bamus). Keputusannya, paripurna kembali ditunda karena ada dua pasal di Raperda Zonasi yang masih dipersoalkan.
Hingga akhirnya pada Kamis (17/3), DPRD DKI kembali menjadwalkan paripurna untuk membahas Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta ini. Tetapi, lagi-lagi ditunda karena anggota dewan bolos.
Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana saat itu mengatakan hanya 50 orang yang hadir dalam rapat paripurna. Memang bila dilihat, banyak kursi kosong di ruangan. Padahal kuorum agar rapat paripurna pengesahan peraturan daerah bisa terlaksana minimal harus dihadiri 71 anggota dari 106 anggota.
Dia menjelaskan, Raperda Zonasi ini merupakan syarat pelaksanaan reklamasi. Bila raperda ini belum disahkan, maka reklamasi belum bisa dijalankan. "Kalau sisi perundang-undangan, ini wilayah zonasi memang menjadi syarat bagi pengaturan tata ruang reklamasi," kata Sani.
Tak kunjung kuorum, akhirnya DPRD DKI malah memutuskan untuk menunda pembahasan raperda terkait reklamasi ini. Kejelasan proyek reklamasi Teluk Jakarta pun menggantung hingga akan dibahas para anggota DPRD DKI periode berikutnya.
Pembahasan raperda terkait reklamasi yang tak kunjung selesai malah berujung ke kasus korupsi. Ketua Komisi D DPRD DKI, M Sanusi tertangkap tangan telah menerima suap dari PT Agung Podomoro Land. Uang sebesar Rp 2 miliar diberikan terkait pembahasan raperda reklamasi.
Informasi yang didapat dari seorang pejabat tinggi di KPK, sebenarnya suap kepada anggota DPRD DKI diberikan dengan motif yang sangat sederhana, yaitu agar sidang pembahasan raperda tak kunjung kuorum. Sebabnya, ada perbedaan mendasar antara Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD terkait jumlah kewajiban yang harus dibayarkan pengembang. Ahok ingin para pengembang menyetor kewajiban 15% dari nilai NJOP, sedangkan DPRD hanya menyetujui agar pengembang menyetor 5% saja.
Salah satu yang dipersoalkan Ahok yaitu tentang tambahan kontribusi 15% pada perusahaan pengembang. Namun Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI M Taufik menyebut permasalahan ada di persoalanan perizinan.
"(Yang dipermasalahkan) izin pelaksanaan sama izin reklamasi. Karena perda itu perda tata ruang, bukan perda izin. Nah kita enggak mau masukin izin," ucap M Taufik sesaat sebelum menjalani pemeriksaan di KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2016).
Taufik mengatakan bahwa izin reklamasi telah dikeluarkan Ahok. Dia pun menegaskan tidak ingin memasukkan izin ke dalam raperda yang tengah dibahas itu.
"Izin itu kan udah keluar jadi kita enggak perlu masukin ke situ dong," sebut Taufik.
Penyidik KPK memang tengah mendalami proses pembahasan penyusunan Raperda Zonasi dan Tata Ruang reklamasi teluk Jakarta yang berujung pada kasus suap. Pada Selasa kemarin, penyidik KPK melakukan pemeriksaan kepada sejumlah pihak yaitu Kepala Bappeda Tuty Kusumawati, Kasubbid Penataan Ruang, Pertamanan dan Pemakaman Bappeda DKI Feirully Irzal dan Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekda Provinsi DKI Jakarta Gamal Sinurat juga diperiksa.
KPK tengah mendalami peran pihak lain dalam kasus ini. KPK menduga, M Sanusi sebagai anggota Balegda tidak bermain sendirian untuk memainkan pembahasan dua raperda itu. KPK menaruh curiga tentang pembahasan raperda yang tidak pernah kuorum. KPK menduga adanya 'permainan' di balik penundaan pembahasan 2 raperda itu.
Kecurigaan KPK memang beralasan. Dua raperda tentang reklamasi itu telah diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) ke DPRD DKI pada 23 April 2015 silam. Saat itu, namanya adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2015-2035. Setahun berselang, raperda tak juga disahkan.
Pembahasan soal raperda ini tidak pernah terdengar hingga pengujung tahun 2015. DPRD DKI lalu memasukkan raperda ini menjadi 1 dari 23 target legislasi dewan di 2016. Perkara tak bisa disahkannya raperda ini karena sidang di DPRD DKI yang tak pernah kuorum. Berkali-kali rapat membahas raperda terkait reklamasi hanya dihadiri tak lebih dari 50 anggota DPRD sehingga pembahasan urung dilanjutkan.
Paripurna pembahasan Raperda Zonasi ini dijadwalkan pada 22 Februari 2016. Agendanya adalah penyampaian laporan hasil pembahasan Balegda DKI terhadap Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dilanjutkan dengan Permintaan Persetujuan Lisan kepada Anggota DPRD oleh Pimpinan, dan Pendapat Akhir Gubernur terhadap Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dipungkasi dengan penyerahan simbolis raperda dari DPRD ke Gubernur.
Ahok yang sudah hadir di Gedung DPRD DKI dibuat 2 jam menunggu. Namun, ternyata anggota DPRD yang menandatangani absensi hanya 50 orang dari total 106 anggota. Karena tidak kuorum, akhirnya paripurna ditunda. Jadwal paripurna kembali tidak jelas karena pada Selasa (1/3), DPRD DKI hanya mengadakan rapat Badan Musyawarah (Bamus). Keputusannya, paripurna kembali ditunda karena ada dua pasal di Raperda Zonasi yang masih dipersoalkan.
Hingga akhirnya pada Kamis (17/3), DPRD DKI kembali menjadwalkan paripurna untuk membahas Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta ini. Tetapi, lagi-lagi ditunda karena anggota dewan bolos.
Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana saat itu mengatakan hanya 50 orang yang hadir dalam rapat paripurna. Memang bila dilihat, banyak kursi kosong di ruangan. Padahal kuorum agar rapat paripurna pengesahan peraturan daerah bisa terlaksana minimal harus dihadiri 71 anggota dari 106 anggota.
Dia menjelaskan, Raperda Zonasi ini merupakan syarat pelaksanaan reklamasi. Bila raperda ini belum disahkan, maka reklamasi belum bisa dijalankan. "Kalau sisi perundang-undangan, ini wilayah zonasi memang menjadi syarat bagi pengaturan tata ruang reklamasi," kata Sani.
Tak kunjung kuorum, akhirnya DPRD DKI malah memutuskan untuk menunda pembahasan raperda terkait reklamasi ini. Kejelasan proyek reklamasi Teluk Jakarta pun menggantung hingga akan dibahas para anggota DPRD DKI periode berikutnya.
Pembahasan raperda terkait reklamasi yang tak kunjung selesai malah berujung ke kasus korupsi. Ketua Komisi D DPRD DKI, M Sanusi tertangkap tangan telah menerima suap dari PT Agung Podomoro Land. Uang sebesar Rp 2 miliar diberikan terkait pembahasan raperda reklamasi.
Informasi yang didapat dari seorang pejabat tinggi di KPK, sebenarnya suap kepada anggota DPRD DKI diberikan dengan motif yang sangat sederhana, yaitu agar sidang pembahasan raperda tak kunjung kuorum. Sebabnya, ada perbedaan mendasar antara Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD terkait jumlah kewajiban yang harus dibayarkan pengembang. Ahok ingin para pengembang menyetor kewajiban 15% dari nilai NJOP, sedangkan DPRD hanya menyetujui agar pengembang menyetor 5% saja.
Comments