Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengungkap kegeramannya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebab, anggota legislatif dipandangnya sengaja menunda-nunda pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang reklamasi.
Emosi itu diungkapkannya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Apalagi, Badan Legislasi Daerah (Balegda) dianggapnya gagal mengumpulkan seluruh anggotanya untuk melaksanakan sidang paripurna.
"Saya sudah dapatkan perjanjian dengan pengembang, kalau DPRD kuorum lalu paripurna pasti tidak ada masalah. Justru yang jadi masalah adalah DPRD yang masalah, kenapa enggak bisa kumpulin orang," sesal Ahok saat menjadi saksi bagi mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, Senin (25/7).
Karena kerap ditunda-tunda, Ahok mengaku menggunakan surat Keputusan Presiden (Keppres) nomor 52 tahun 1995 dan perjanjian kerja sama tahun 1997. Hanya saja, keduanya tidak mencantumkan nilai kontribusi yang harus diberikan pengembang kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
"Kalau gubernur tidak jujur bisa jadi uang ini, Rp 1 triliun lalu hak sampai 2027 yang nilainya bisa menjadi Rp 158 triliun. Ini sepanjang masa, ini DKI bisa enggak punya uang pembangunan," ujar Ahok.
Atas alasan itu, Ahok menawarkan kepada seluruh pengembang untuk mencicil nilai kontribusinya kepada Pemprov DKI dengan nilai NJOP tahun berjalan. Hingga kini, uang kontribusi yang sudah diterima mencapai triliunan rupiah.
"Itu sudah triliunan bayar ke DKI, lebih baik cicil sekarang, kalau cicil sekarang pakai NJOP sekarang, kalau berikutnya anda lebih mahal," ungkapnya.
Hasilnya, sudah ada beberapa kontribusi yang diberikan para pengembang, di antaranya Rusun Daan Mogot dan Waduk Pluit. Kedua bangunan tersebut didapatkan berdasarkan perjanjian antara Pemprov DKI dengan pengembang.
Emosi itu diungkapkannya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Apalagi, Badan Legislasi Daerah (Balegda) dianggapnya gagal mengumpulkan seluruh anggotanya untuk melaksanakan sidang paripurna.
"Saya sudah dapatkan perjanjian dengan pengembang, kalau DPRD kuorum lalu paripurna pasti tidak ada masalah. Justru yang jadi masalah adalah DPRD yang masalah, kenapa enggak bisa kumpulin orang," sesal Ahok saat menjadi saksi bagi mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, Senin (25/7).
Karena kerap ditunda-tunda, Ahok mengaku menggunakan surat Keputusan Presiden (Keppres) nomor 52 tahun 1995 dan perjanjian kerja sama tahun 1997. Hanya saja, keduanya tidak mencantumkan nilai kontribusi yang harus diberikan pengembang kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
"Kalau gubernur tidak jujur bisa jadi uang ini, Rp 1 triliun lalu hak sampai 2027 yang nilainya bisa menjadi Rp 158 triliun. Ini sepanjang masa, ini DKI bisa enggak punya uang pembangunan," ujar Ahok.
Atas alasan itu, Ahok menawarkan kepada seluruh pengembang untuk mencicil nilai kontribusinya kepada Pemprov DKI dengan nilai NJOP tahun berjalan. Hingga kini, uang kontribusi yang sudah diterima mencapai triliunan rupiah.
"Itu sudah triliunan bayar ke DKI, lebih baik cicil sekarang, kalau cicil sekarang pakai NJOP sekarang, kalau berikutnya anda lebih mahal," ungkapnya.
Hasilnya, sudah ada beberapa kontribusi yang diberikan para pengembang, di antaranya Rusun Daan Mogot dan Waduk Pluit. Kedua bangunan tersebut didapatkan berdasarkan perjanjian antara Pemprov DKI dengan pengembang.
Comments