Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyebut rendahnya serapan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) 2015 karena adanya ketakutan pegawai negeri sipil (PNS) DKI menggunakan anggaran.
Hal ini juga disebabkan karena keputusannya menutup peluang pegawai untuk menyalahgunakan anggaran. Terlebih, ia menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta lembaga keuangan lain untuk mengawasi penggunaan APBD.
"Jadi ya wajar, mereka banyak yang berdoa gubernurnya cepat pergi atau mati di jalan. Gitu kan ngarep-ngarep," kata Basuki, di Balai Kota, Jumat (28/8/2015).
Basuki mencontohkan, untuk mengangkut sampah di sungai ke truk saja, DKI membutuhkan Rp 400 miliar untuk membayar jasa swasta. Namun, swasta kerap tidak mengangkut sampah dan tetap dibiarkan menumpuk.
Setelah Basuki menginstruksikan Dinas Kebersihan untuk tidak kerja sama dengan swasta, rupanya mereka tidak kehabisan akal. Mereka tidak mau membeli alat berat padahal sudah tercantum di e-katalog LKPP (lembaga kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah). Basuki menengarai, banyak oknum PNS DKI yang ingin kerjasama dengan swasta demi mendapat komisi.
"Kamu bayangin enggak sih semua orang tahu, sudah rahasia umum pejabat DKI ini dapat duitnya kaya raya banget. Ada auditor swasta bilang sama saya. Orang-orang pada ribut, gaji pejabat eselon II di DKI Rp 60-70 juta, buat mereka yang malingmah seupil aja enggak ada artinya," kata Basuki.
Serapan anggaran 2015 masih rendah, seperti untuk belanja modal. Serapannya masih berkisar antara 1-3 persen. Dengan rincian, anggaran belanja jalan, irigasi dan jaringan baru terserap 3,56 persen, belanja gedung dan bangunan terserap 2,86 persen, belanja aset tetap lainnya terserap 2,62 persen, belanja peralatan dan mesin terserap 1,60 persen serta belanja tanah terserap 1,16 persen.
Dalam realisasi penyerapan anggaran tahun 2015, penyerapan anggaran bantuan sosial dan hibah paling besar diantara jenis-jenis anggaran belanja tidak langsung dan belanja langsung. Terlihat dari belanja operasi atau belanja tidak langsung, terdapat tujuh jenis belanja.
Dari tujuh jenis belanja tersebut, yang paling besar realisasi penyerapan anggarannya adalah belanja hibah sebesar 49,75 persen. Atau terserap mencapai Rp 836,69 miliar dari total belanja hibah sebesar Rp 1,68 triliun. Terbesar kedua penyerapan anggaran terdapat di anggaran belanja bantuan sosial sebanyak 41,46 persen atau Rp 958,82 miliar dari total anggaran sebanyak Rp 2,31 triliun. Sedangkan belanja pegawai hanya terserap 28,89 persen atau Rp 6,09 triliun dari total anggaran Rp 21,09 triliun, belanja barang terserap 23,01 persen atau sebesar Rp 3,83 triliun dari total anggaran Rp 16,65 triliun dan belanja bunga terserap 3,91 persen atau Rp 1,8 miliar dari total anggaran Rp 46,07 miliar.
Comments