Anggota DPRD DKI Jakarta Santoso menyebut banyak warga Ibu Kota yang harus menanggung pajak bumi dan bangunan (PBB) yang tinggi hanya karena pertumbuhan daerah yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Ia menilai kondisi tersebut sangat tidak adil bagi warga. "Bukan salah warga kalau kemudian daerah di sekitar tempatnya tinggal berkembang," kata Santoso saat rapat pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUAPPAS) 2016 di Gedung DPRD DKI, Senin (31/8/2015).
Santoso menilai harusnya Pemprov DKI bisa bersikap arif menyikapi hal tersebut. Menurut dia Cara yang ia nilai paling tepat adalah tidak menetapkan besaran pajak yang sama hanya berdasarkan lokasi.
"Kalau kemudian ada warga tinggal di daerah yang tanahnya mahal, anggap saja itu rezeki bagi dia. Tetapi bukan berarti kita menekan dia dengan pajak yang tinggi," ujar anggota Fraksi Partai Demokrat ini.
Sebagai informasi, tingginya PBB di DKI Jakarta telah berlangsung sejak 2013. Tingginya pajak merupakan akibat dari penyesuaian nilai jual obyek pajak (NJOP) yang ditetapkan. Kenaikan NJOP di Jakarta bervariasi disesuaikan dengan lokasi wilayah, mulai dari 120 persen hingga 240 persen.
Salah seorang warga yang pernah mengeluhkan tingginya PBB adalah Bayu Priyadi, warga RT 006/011 Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ia kelimpungan karena harus menanggung beban PBB sebesar Rp 18 juta setahun. Padahal, penghasilannya hanya Rp 5 juta sebulan.
Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa melihat sisi keadilan dalam penerapan PBB bagi warganya. Tanah dia seluas 400 meter persegi berada di gang sempit dan tanah warisan dari mertuanya.
"Saat saya tanyakan ke kantor pajak terdekat, katanya kawasan Jalan Panjang, Jakarta Barat, masuk dalam kawasan strategis atau kawasan komersial sehingga masuk dalam kategori grade A. Masalahnya, kawasan sampai radius 500 meter dari Jalan Panjang termasuk grade A, termasuk permukiman warga. Ini jelas tidak adil kalau disamakan seperti ini saya protes," kata Bayu seperti dikutip dari harian Warta Kota, Senin (27/4/2015).
Pemprov DKI memang memberikan keringanan kepada wajib pajak berpenghasilan rendah dan pensiunan. Caranya, wajib pajak harus membuat surat keterangan tentang besar penghasilan dari tempat kerja wajib pajak. Surat itu dilampiri fotokopi KTP dan kartu keluarga.
Namun, tetap saja, tingginya pajak menenggelamkan minat warga untuk membayar PBB. Pada Agustus 2014, yang biasanya menjadi batas akhir pembayaran PBB, data di Dinas Pelayanan Pajak menyebutkan jumlah PBB yang terkumpul hanya 67,6 persen dari target Rp 6,5 triliun.
Masa pembayaran kemudian diperpanjang. Namun, tetap saja sampai akhir 2014, target tetap tak bisa dicapai. Realisasi PBB DKI Jakarta hanya Rp 5,8 triliun. Tahun ini, target pendapatan PBB dinaikkan menjadi Rp 8 triliun.
Dinas Pelayanan Pajak telah bermitra dengan 13 bank dan PT Pos agar target tahun ini bisa dicapai. Selain itu, surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) PBB sudah dibagikan sejak awal tahun. Hingga akhir Juli, penerimaan PBB DKI belum sampai 30 persen dari target.
Ia menilai kondisi tersebut sangat tidak adil bagi warga. "Bukan salah warga kalau kemudian daerah di sekitar tempatnya tinggal berkembang," kata Santoso saat rapat pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUAPPAS) 2016 di Gedung DPRD DKI, Senin (31/8/2015).
Santoso menilai harusnya Pemprov DKI bisa bersikap arif menyikapi hal tersebut. Menurut dia Cara yang ia nilai paling tepat adalah tidak menetapkan besaran pajak yang sama hanya berdasarkan lokasi.
"Kalau kemudian ada warga tinggal di daerah yang tanahnya mahal, anggap saja itu rezeki bagi dia. Tetapi bukan berarti kita menekan dia dengan pajak yang tinggi," ujar anggota Fraksi Partai Demokrat ini.
Sebagai informasi, tingginya PBB di DKI Jakarta telah berlangsung sejak 2013. Tingginya pajak merupakan akibat dari penyesuaian nilai jual obyek pajak (NJOP) yang ditetapkan. Kenaikan NJOP di Jakarta bervariasi disesuaikan dengan lokasi wilayah, mulai dari 120 persen hingga 240 persen.
Salah seorang warga yang pernah mengeluhkan tingginya PBB adalah Bayu Priyadi, warga RT 006/011 Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ia kelimpungan karena harus menanggung beban PBB sebesar Rp 18 juta setahun. Padahal, penghasilannya hanya Rp 5 juta sebulan.
Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa melihat sisi keadilan dalam penerapan PBB bagi warganya. Tanah dia seluas 400 meter persegi berada di gang sempit dan tanah warisan dari mertuanya.
"Saat saya tanyakan ke kantor pajak terdekat, katanya kawasan Jalan Panjang, Jakarta Barat, masuk dalam kawasan strategis atau kawasan komersial sehingga masuk dalam kategori grade A. Masalahnya, kawasan sampai radius 500 meter dari Jalan Panjang termasuk grade A, termasuk permukiman warga. Ini jelas tidak adil kalau disamakan seperti ini saya protes," kata Bayu seperti dikutip dari harian Warta Kota, Senin (27/4/2015).
Pemprov DKI memang memberikan keringanan kepada wajib pajak berpenghasilan rendah dan pensiunan. Caranya, wajib pajak harus membuat surat keterangan tentang besar penghasilan dari tempat kerja wajib pajak. Surat itu dilampiri fotokopi KTP dan kartu keluarga.
Namun, tetap saja, tingginya pajak menenggelamkan minat warga untuk membayar PBB. Pada Agustus 2014, yang biasanya menjadi batas akhir pembayaran PBB, data di Dinas Pelayanan Pajak menyebutkan jumlah PBB yang terkumpul hanya 67,6 persen dari target Rp 6,5 triliun.
Masa pembayaran kemudian diperpanjang. Namun, tetap saja sampai akhir 2014, target tetap tak bisa dicapai. Realisasi PBB DKI Jakarta hanya Rp 5,8 triliun. Tahun ini, target pendapatan PBB dinaikkan menjadi Rp 8 triliun.
Dinas Pelayanan Pajak telah bermitra dengan 13 bank dan PT Pos agar target tahun ini bisa dicapai. Selain itu, surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) PBB sudah dibagikan sejak awal tahun. Hingga akhir Juli, penerimaan PBB DKI belum sampai 30 persen dari target.
Comments