Pemprov DKI Jakarta terus berupaya meringankan beban warganya dengan memberikan Kartu Jakarta Pintar untuk siswa sekolah tidak mampu. Namun ternyata mekanisme penggunaan kartu tersebut cukup membuat warga kesulitan.
Puluhan ibu-ibu berkumpul di kantor Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) di Jl Panca Warga IV, Kalimalang, Jaktim sore ini, Kamis (30/7/2019). Mereka mengadukan kesulitan-kesulitannya mulai dari aktivasi kartu, pencairan uang transport untuk anak, hingga pembelian peralatan sekolah melalui sistem debet dari kartu.
"Saya kemarin ambil KJP di (Bank DKI) Otista tapi nggak dapat nomor, suruh antre dulu tapi tetap juga nggak dapat karena cuma dijatah 500 orang aja," ungkap Kasinem, warga Cipinang Besar Selatan.
Hal serupa juga dirasakan Ibu Erna. Ia pernah datang ke Bank DKI dengan maksud untuk mencairkan dana transport dan akhirnya gigit jari.
"Pengalaman saya sedikit tapi menyakitkan. Bulan puasa kemarin saya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang untuk aktivasi pin. Terus saya sekalian mau ambil uang, cuma mau ambil Rp 50 ribu aja tapi udah antri-antri katanya nggak bisa karena uangnya habis. Masa bank uangnya habis," curhatnya.
Proses pencairan dana KJP ini pun kini berbeda. Untuk uang transport, siswa hanya bisa mengambil dengan kisaran Rp 150-200 ribu setiap bulannya. Tergantung tingkatan sekolah. Kemudian dari total dana yang didapat, sebagian diperuntukkan sebagai dana pembelian peralatan sekolah. Itu dengan menggunakan sistem debet dan hanya di lokasi tertentu saja yang bisa menerimanya.
"Kemarin tahunya cuma boleh yang di Senayan itu belinya. Saya ke sana, umpel-umpelan banyak banget yang ke sana. Banyak anak kecil kegencet-gencet. Kan itu tempatnya di tenda akhirnya jadi panas, sampai basah baju," keluh Ayu, warga Cipinang Besar Selatan lainnya.
Saat berbelanja di Jakbook dan Edu Fair 2015 di Senayan itu, Ayu mengajak serta sang anak. Ia pun kesal karena setiap hendak membeli barang, mesin debet di toko sering offline. Akhirnya karena kesal, ia pulang dan hingga hari ini belum membeli peralatan sekolah anaknya.
"Katanya harus bawa anak ke sananya. Tapi nggak ngaruh di sana. Terus saya juga baru tahu sekarang bisa beli di tempat lain. Kalau di sini di Kramatjati. Itu tahunya dari orang aja, nggak ada sosialisasinya. Mending kayak dulu aja deh terimanya cash," tutur Ayu.
Keluhan warga ternyata banyak diterima pihak FAKTA. Ketua FAKTA, Azas Tigor Nainggolan pun meminta agar Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) mengevaluasi mengenai sistem dari KJP ini. Bukan tentang bantuannya, tapi terkait mekasisme dan bagian operasional sehingga tidak menyulitkan warga.
"Tidak semua masyarakat mengerti bagaimana menggunakan ATM, perubahan budaya dari memegang uang cash ke ATM ini butuh proses. Aktivasi pin nya juga nggak gampang. Pertama mereka harus mencari Bank DKI agak susah dicari. Mau ke ATM harus naik angkot karena jauh. Akhirnya ngeluarin biaya lagi," beber Tigor.
"Sampai di bank antre lagi, sudah itu aktivasi pin ini butuh waktu, nggak sehari jadi. Belum lagi ibu-ibu harus ingat-ingat pinnya. Kalau salah ulang lagi dari awal, aktivasi lagi," sambungnya.
Belum lagi perkara peralatan sekolah di toko yang bisa menggunakan KJP harganya cukup selangit. Padahal mutunya pun sama saja dengan harga yang lebih murah.
"Tas yang biasa beli di pasar cuma Rp 60 ribu ini sampai Rp 200 ribu, tadi saya cek di Kramatjati. Harga jauh lebih mahal, mutu nggak jelas. Kemarin pak Ahok sudah marah karena masalah ini. Saya curiga pak Ahok nggak didengerin sama anak buahnya. Ini ada pembangkangan pejabat DKI terhadap gubernurnya," kata Tigor.
"Hal-hal ini harus menjadi bahan evaluasi pak Ahok. Mekanismenya harus diubah. Ahok harus mengevaluasi KJP ini kalau emang pengen warganya pintar. Supaya nggak jadi kartu Jakarta payah," pungkasnya.
Puluhan ibu-ibu berkumpul di kantor Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) di Jl Panca Warga IV, Kalimalang, Jaktim sore ini, Kamis (30/7/2019). Mereka mengadukan kesulitan-kesulitannya mulai dari aktivasi kartu, pencairan uang transport untuk anak, hingga pembelian peralatan sekolah melalui sistem debet dari kartu.
"Saya kemarin ambil KJP di (Bank DKI) Otista tapi nggak dapat nomor, suruh antre dulu tapi tetap juga nggak dapat karena cuma dijatah 500 orang aja," ungkap Kasinem, warga Cipinang Besar Selatan.
Hal serupa juga dirasakan Ibu Erna. Ia pernah datang ke Bank DKI dengan maksud untuk mencairkan dana transport dan akhirnya gigit jari.
"Pengalaman saya sedikit tapi menyakitkan. Bulan puasa kemarin saya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang untuk aktivasi pin. Terus saya sekalian mau ambil uang, cuma mau ambil Rp 50 ribu aja tapi udah antri-antri katanya nggak bisa karena uangnya habis. Masa bank uangnya habis," curhatnya.
Proses pencairan dana KJP ini pun kini berbeda. Untuk uang transport, siswa hanya bisa mengambil dengan kisaran Rp 150-200 ribu setiap bulannya. Tergantung tingkatan sekolah. Kemudian dari total dana yang didapat, sebagian diperuntukkan sebagai dana pembelian peralatan sekolah. Itu dengan menggunakan sistem debet dan hanya di lokasi tertentu saja yang bisa menerimanya.
"Kemarin tahunya cuma boleh yang di Senayan itu belinya. Saya ke sana, umpel-umpelan banyak banget yang ke sana. Banyak anak kecil kegencet-gencet. Kan itu tempatnya di tenda akhirnya jadi panas, sampai basah baju," keluh Ayu, warga Cipinang Besar Selatan lainnya.
Saat berbelanja di Jakbook dan Edu Fair 2015 di Senayan itu, Ayu mengajak serta sang anak. Ia pun kesal karena setiap hendak membeli barang, mesin debet di toko sering offline. Akhirnya karena kesal, ia pulang dan hingga hari ini belum membeli peralatan sekolah anaknya.
"Katanya harus bawa anak ke sananya. Tapi nggak ngaruh di sana. Terus saya juga baru tahu sekarang bisa beli di tempat lain. Kalau di sini di Kramatjati. Itu tahunya dari orang aja, nggak ada sosialisasinya. Mending kayak dulu aja deh terimanya cash," tutur Ayu.
Keluhan warga ternyata banyak diterima pihak FAKTA. Ketua FAKTA, Azas Tigor Nainggolan pun meminta agar Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) mengevaluasi mengenai sistem dari KJP ini. Bukan tentang bantuannya, tapi terkait mekasisme dan bagian operasional sehingga tidak menyulitkan warga.
"Tidak semua masyarakat mengerti bagaimana menggunakan ATM, perubahan budaya dari memegang uang cash ke ATM ini butuh proses. Aktivasi pin nya juga nggak gampang. Pertama mereka harus mencari Bank DKI agak susah dicari. Mau ke ATM harus naik angkot karena jauh. Akhirnya ngeluarin biaya lagi," beber Tigor.
"Sampai di bank antre lagi, sudah itu aktivasi pin ini butuh waktu, nggak sehari jadi. Belum lagi ibu-ibu harus ingat-ingat pinnya. Kalau salah ulang lagi dari awal, aktivasi lagi," sambungnya.
Belum lagi perkara peralatan sekolah di toko yang bisa menggunakan KJP harganya cukup selangit. Padahal mutunya pun sama saja dengan harga yang lebih murah.
"Tas yang biasa beli di pasar cuma Rp 60 ribu ini sampai Rp 200 ribu, tadi saya cek di Kramatjati. Harga jauh lebih mahal, mutu nggak jelas. Kemarin pak Ahok sudah marah karena masalah ini. Saya curiga pak Ahok nggak didengerin sama anak buahnya. Ini ada pembangkangan pejabat DKI terhadap gubernurnya," kata Tigor.
"Hal-hal ini harus menjadi bahan evaluasi pak Ahok. Mekanismenya harus diubah. Ahok harus mengevaluasi KJP ini kalau emang pengen warganya pintar. Supaya nggak jadi kartu Jakarta payah," pungkasnya.
Comments